Setengah 3 pagi tadi aku terbangun dari tidurku. Sesak yang teramat sangat membuat nyeri hatiku. Aku terluka. Entah kenapa Allah teramat suka membuatku terluka. Semoga saja, ada sesuatu yang baik dibalik luka yang teramat sering Dia berikan padaku. Kemaren, di jam yang sama, ibuku masih bernafas walaupun mungkin dengan susah payah Kami langsung membawanya ke RS. Begitu masuk UGD berbagai macam alat kedokteran dipasang di badan ibu. Aku sangat takut, aku berdoa kepada Allah agar memberikan keajaiban padaku untuk kesembuhan ibuku. Ibu divonis kena serangan jantung, ada penyumbatan di otaknya. Setelah mendapat penanganan, dokter berkata bahwa ibu harus dirawat di ruang ICU. Tapi Allah mungkin sudah memantapkan kuasa-Nya. ICU di RS. Mardi Rahayu sudah penuh. Tinggal satu yang tersisa hanya saja tidak dilengapkapi ventilator, padahal itulah yang sangat dibutuhkan untuk ibu. Setelah itu dokter menawarkan pada kami, bagaimana kalo ibu dirujuk di RS yang ada di Kudus yang mempunyai ventilator. Hanya saja, semua RS disini penuh untuk bagian ICU. Aku sudah mulai lemas. Dokter kemudian menyarankan untuk ke Semarang. Aku sempat mengusulkan untuk rumah sakit yang lebih dekat. Ternyata di daerah Pati penuh. Kemudian baiklah, dimanapun yang penting ibu tertolong. Perawat menjelaskan biaya untuk perawatan di ruang ICU. Per hari sekitar 7 juta. Aku sudah mulai gamang. Darimana aku dapat uang yang begitu besar untuk perawatan ibu. Yasudah, aku mungkin bisa meminta bantuan kantor jika memang biayanya sampai sangat besar. Yang penting ibu tertolong. Sampai jam 5 kami belum mendapatkan RS dengan ruang ICU yang tersisa. Di Semarang, Solo, Purwodadi, Yogyakarta. Dokter berkata, bisa masuk ICU cuma tidak ada ventilator, dan resiko ditanggung sendiri oleh pasien. Aku sudah mulai panik. Tiba-tiba bapakku mengusulkan RS yang ada di Tegal. Keluarga kami disana, jadi mungkin lebih mudah untu kami menjaga ibu. Pihak RS berkata bahwa mereka tidak pernah merujuk RS kesana, dan mereka tidak mempunyai kontak RS disana. Aku tidak putus asa. Aku mencari kontak RS di Tegal sendiri lewat internet. Setelah dapat, aku mencatatnya dan menyerahkan kepada pihak RS. Satu per satu nomer yang aku berikan dicoba, hanya saja tidak ada satupun ruang ICU yang tersisa. Mereka mungkin putus asa, disamping mungkin kondisi mereka yang sudah mulai lelah karena jaga malam. Aku tidak menyalahkan mereka. Itu manusiawi. Hanya saja aku masih berharap Allah memberikan keajaiban untuk ibuku. Aku berinisiatif menelpon sendiri RS. Mitra Harapan Tegal kalau aku tidak salah mengingat. Kontaknya masih ada di hapeku. Aku menghubungi mereka, dan betapa senang hatiku, mereka masih mempunyai kamar ICU dengan ventilator. Aku langsung berkata kami akan merujuk pasien kesana. Aku menyerahkan hapeku ke perawat disana. Meminta tolong mereka membantuku untuk merujuk ibu kesana. Setelah semuanya beres. Masalah kembali muncul karena tidak ada perawat yang akan mendampingi kesana. Kami harus menunggu. Mereka menjelaskan bahwa perawat yang akan mendampingi adalah perawat yang kebetulan libur. Dan ternyata itu memakan waktu yang cukup lama. Sampai jam setengah 7 mereka belum menemukan perawat pendamping. Nafas ibu sudah mulai teratur, hanya saja, detak jantung dimonitor semakin menurun. Kakinya sudah dingin, tangannya, wajahnya. Aku hanya bisa menciumi kaki ibuku. Mungkin saat itu sebetulnya ibu sudah dalam kondisi tidak bernyawa. Mba Atik datang sebelum berangkat mengajar, aku bertanya, kok detak jantung ibu semakin turun. Dia berkata, tidak apa2, masih diatas seratus. Tapi yang bawah menurun mba. Tidak apa2. Yang bawah itu indikator nafas. Semakin turun, nafas ibu semakin teratur. Suhu ibu 80 derajat. Kemudian perawat memberi kabar kepada kami bahwa ada pasien yang plus atau meninggal di ICU, jadi ibu bisa dipindah kesana. Persiapan dilakukan. Bunda datang, membawakanku susu dan roti untuk kami. Memang perut kami, aku, adek, dan bapak belum terisi apapun. Tiba-tiba ada pasien yang masuk, anak kecil, ketika monitor dipasang, nafasnya cepat sekali, aku membandingkannya dengan ibu, anak itu sekitar 90 an sedangkan ibu 30an. Berarti nafas ibu normal, aku berpikir begitu. Saat kulihat detak jantungnya. Ibu sudah menurun dibawah seratus, sedangkan anak itu 190an. Perawat mengatakan bahwa anak itu harus dibawa ke ICU, tapi penuh. Tiba-tiba saja, hatiku berkata, anak itu masih panjang jalan hidupnya, kalau ibu sudah cukup. Aku juga tidak tahu kenapa hatiku bisa berkata seperti itu. Sebelum mba Atik kembali ke tempat mengajar, aku bertanya lagi, mba, kok semaki turun detak jantungnya. Mb Atik cuma menjawab, tidak apa2 tanpa ekspresi. Pergantian shift pun terjadi. Dokter pria semalam, diganti dengan dokter wanita. Dokter tersebut lantas mengecek indikator di monitor ibu. Aku tahu, ketidakberesan pasti terjadi. Aku berkata pada adek bahwa kita harus siap seburuk apapun kemungkinan yang terjadi. Tiba-tiba dokter dan perawat berlarian ke arah ibu, mereka menekan2 dada ibu. Tas plastik berisi susu dan roti dari Bunda langsung jatuh dari tanganku. Aku tahu, ibuku pasti tidak tertolong. Aku berdoa, ibu diberi mukjizat oleh Allah. Tapi ternyata Allah menginginkan ibu disisi-Nya daripada disampingku. Ibu meninggal pada tanggal 6 Januari 2014 Kamis Kliwon jam 7 pagi. Saat itu aku sudah tidak sadar diri, aku pingsan, setelah sadar, aku menangis sejadi-jadinya. Aku yatim piatu, bapak dan ibu kandungku sudah pergi meninggalkanku. Aku sebatangkara. Adek juga sama sepertiku, bapak, kami menangis, tapi hanya aku yang menangis sejadi-jadinya. Bapak dan adek mungkin hatinya yang mmenangis. Berkali-kali aku tidak sadarkan diri. Aku sadar, aku mendengar orang berbicara padaku, tapi rasanya ada sesuatu yang menyeret kesadaranku. Sehingga tatapanku kosong. Ada sesuatu yang hilang dari hidupku. Aku tidak tahu bagaimana caranya aku melanjutkan hidupku tanpa ibuku. Aku selalu bergantung padanya. Setiap hari ibu yang membuatkanku bekal, yang mengantarkanku berangkat kerja, yang menjemputku. Kehidupan kami dulu yang bersama-sama kami lewati. Yaa Allah, sanggupkah aku? Malam sebelum meninggal, ibu bertanya padaku. Aku menyesal apa senang? Aku senang kalau ibu sembuh. Ibu berkata, jangan menangis terus mba, ibu ga papa. Aku takut bu. Ga usah takut, ibu pasti jagain mba sama adek. Maaf ya mba, ibu ga bisa ngerawat cucu2 ibu, ibu cuma bisa ngawasin aja. Ga papa bu. Yaa Allah..
Aku sayang ibuku. Kenapa Kau ambil dia secepat itu dariku. Kami bisa apa tanpa ibu. Yaa Allah, aku tidak bisa tidur lagi. Aku pindah ke kamar adek. Aku merasa takut. Disana kulihat bapak dan adek sedang tidur. Entah benar2 tidur atau tidak, yang pasti mereka mendengarku. Kami berpegangan erat. Kami menangis bersama. Kami harus saling menguatkan. Jam setengah 4 mbahku bangun dan mengajak tahajudan. Aku merasa lega, karena saat itu aku sangat takut ketika dini hari, aku takut mendengar suara ambulans, aku takut ke rumah sakit, aku takut bau bunga mawar, karena semua itu mengingatkanku pada ibu. Setelah itu aku melihat bapak sedang menangis di tempat terakhir ibu dibaringkan. Aku juga sangat takut, sama seperti bapak. Kami saling berpelukan, kami saling mencoba saling menguatkan. Kami saling berjanji untuk saling menjaga. Aku hanya punya bapak dan adek sekarang. Aku tahu, aku akan menjaga mereka seperti ibu menjaga kami dulu. Memastikan semua baik2 saja walaupun sebenarnya tidak baik. Aku merass sangat sakit. Disini. Di hati. Nyeriii sekali. Semoga ibu bahagia disana. Mendapatkan surga disana. I luv ibu.
No comments:
Post a Comment